Ketika Facebook Lebih Perhatian


Image

Dewasa ini, jejaring sosial mendapat tempat istimewa di hati masyarakat. Khususnya masyarakat Indonesia. Dari anak-anak sampai yang sudah beranak. Dari yang muda sampai yang tidak lagi muda. Dari yang imut-imut sampai yang komat-kamit, eh. Semuanya menyukai jejaring sosial, tak terkecuali Facebook.

Bahkan, Facebook ini telah mengalahkan Friendster atau kakak-kakak jejaringnya yang telah lebih dulu bergelut di dunia maya. Entah karena aplikasinya lebih mudah, atau memang masyarakat sudah terlalu butuh hiburan di tengah zaman reformasi seperti ini (maklum pada zaman orde baru belum ada gini-ginian), yang jelas, Facebook selalu menyedot jumlah penggunanya lebih banyak. Bahkan Facebook-an atau FBan, sudah menjadi kebutuhan zaman. Hingga, ada yang mengatakan ‘ga punya FB, kelaut aja’. Istilah yang sadis memang. Dan saya tak setuju dengan istilah itu karena Mama, Bapak, Emak, Abah, Uwa, Bibi, dan Mamang saya engga punya soalnya :D. Tapi itulah keprihatinan masyarakat kita saat ini, rentan dengan yang sadis-sadis. (nepok jidat sendiri)

Facebook seperti punya daya magis, magister maksudnya. Hahaha. Betapa tidak? Masyarakat (termasuk saya :D) seperti tak ada bosannya dengan jejaring yang satu ini. Padahal aplikasi-aplikasi lain saat ini juga sedang mengadu hebat. Tapi Facebook tetaplah Facebook yang –sekali lagi– punya tempat tersendiri di hati penggunanya. Sempat terlintas di benak saya, apakah tidak sebaiknya tema ini saya jadikan alternatif bahan skripsi ya? Hehehe. Hm, misal dengan judul, pengaruh Facebook terhadap bacaan tajwid siswa :D.

Saya sempat takjub, ketika beberapa waktu lalu, Zuckerberg (hadoh susah banget ya manggil nama pendiri Facebook ini :D), menyematkan pertanyaan, “Apa yang anda rasakan?” kemudian sekali waktu Facebook pernah bertanya “apa yang sedang terjadi?” dan “bagaimana keadaan anda?”

Jujur, ketika mendapat pertanyaan itu, saya merasa lebih diakui keberadaanya ketimbang pertanyaan wajibnya, “apa yang anda pikirkan?” yang kemudian menjadi tidak wajib saya jawab, setidaknya dalam kamus saya pribadi. Hehe.

Lantas, sebagai manusia yang tidak ingin menyesal, mengingat wejangan ust. Asep Nazarudin –salah satu dosen saya- pada kajiannya di Mesjid Agung beberapa waktu lalu, yang mengatakan bahwa manusia yang akan menyesal di akhirat itu ada tiga : (1) manusia yang tidak percaya akan janji dan ancaman Allah, (2) manusia yang kikir, (3) dan manusia yang tidak mau berfikir.

Maka saya mencoba berfikir, apakah pertanyaan dalam wall yang dilontarkan Zuckerberg itu terinspirasi dari ust. Asep Nazarudin, ^0^, ataukah jauh di lubuk hatinya Zuckerberg cs. tahu bahwa apa yang diajarkan dalam Islam adalah kebeningan sejati?

Dalam pada itu, saya juga mencoba berfikir, ketika saya merasa lebih berarti dengan pertanyaan Facebook “bagaimana keadaan Anda?”, saya menyadari hal lain. Apakah perasaan merasa lebih berarti dengan pertanyaan ini juga dialami oleh teman-teman saya? oleh saudara-saudara saya?

Jika begitu, rasanya saya ingin menampar diri saya sendiri. Karena, mengapa saya kalah langkah dengan Facebook? Mengapa saya tidak bisa sefriendly Facebook? Mengapa Facebook lebih perhatian ketimbang saya? atau, mengapa teman saya lebih damai curhat di Facebook ketimbang curhat pada temannya sendiri? oh, siapalah saya dibanding Facebook?

Hm, barangkali ada yang salah dengan saya, mungkin saya yang kurang perhatian pada teman saya, 😦 saya yang kurang rajin bertanya keadaan mereka, saya yang kurang bisa menjaga perasaan teman-teman saya, sehingga Facebook seringkali dipilih oleh mereka dan umumnya masyarakat kita menjadi tempat curhat no 1, mengalahkan rating buku diary, dan –Ini yang paling na’udzubillah, mengalahkan curhatnya kita pada Allah.

Maka pantas saja ketika, saudara-saudara saya dengan mudah menceritakan apa yang sedang dialaminya ke hadapan mahkamah Facebook. Apa yang sedang dirasakannya. Apa yang sedang digalaukannya. Dan sayangnya, saya pun tak jarang melakukannya. (hadoh, nepuk jidat lagi). Yang sebenarnya, bukan tidak mungkin curhat di Facebook itu akan menimbulkan masalah lain.

Sah-sah saja memang ketika kita memposting sesuatu di dalam Facebook. Tak ada yang menyalahkan. Hanya saja, bukan hal yang dibenarkan ketika kita lebih mendahulukan Facebook ketimbang mendahulukan yang Menciptakan pencipta aplikasi facebook 🙂

Saya pun menyadari satu hal. Facebook dan sejenisnya hanyalah media alias alat. Alat apapun akan menjadi hal yang membahayakan namun bisa juga menjadi hal yang mendatangkan kebaikan. Tergantung si pengguna alat itu sendiri. ^_^

Seperti pisau, Facebook dan jejaring sosial lainnya pun begitu. Jika pisau itu digunakan untuk memasak di dapur yang hasilnya mendatangkan mashlahat karena ada banyak makanan yang bisa di hasilkan, maka pisau itu telah digunakan dengan baik oleh penggunannya. ^_^

Jangan sampai pisau itu digunakan untuk keburukan, missal untuk menyakiti orang lain, atau bahkan membunuh diri sendiri.  😦 Na’udzubillahimindzalik….

Facebook kini kembali pada format awal, yakni pada pertanyaan wajibnya “apa yang sedang anda pikirkan?” seperti saya yang telah kembali mencoba membuka bahan skripsi saya. Yang sudah lama tak tersentuh. Hehehe. (Mohon doa ya teman-teman, mudah-mudahan saya lulus kuliah tahun ini, aaamiin. ^_^)

Dan sekedar tips untuk saya sendiri, juga untuk siapapun yang telah dengan ridho membaca tulisan ini sampai selesai,

  1. Sebaiknya, curahkan masalah kita pada Dia yang tidak pernah tidur dan tiada pula mengantuk, Allah. ^^
  2. Yuk, lihat kontak di HP masing-masing. Untuk apa? -__-‘’ untuk memastikan, nomor kontak yang ada tidak hilang. Karena barangkali di sana, ada orang-orang yang telah hampir kita nomor sekiankan dibanding facebook, (poin kedua ini saya nyindir diri sendiri >_< Allahummagfirlii..)

Pada akhirnya, catatan ini adalah untuk mengajak kita semua untuk senantiasa berpikir, bahwa hidup itu pilihan. 😀 dan semoga pilihan itu selalu mendarat pada kebaikan ya, aamiin. ^_^

Salam,

Djayanti Nakhla Andonesi,

Karawang 7 Maret 2013, Kamis.