Caca Goes to The Agung Mosque Karawang


Setelah cukup puas jalan-jalan di toko buku, tanggal 1-11-15 sore, (baca selengkapnya di sini ), destinasi kami selanjutnya adalah Masjid Agung Karawang, yang berada di alun-alun kota Karawang. Masjid ini jelas bersejarah. Kapan-kapan saya review, ya.

Dan bagi kami, Continue reading

Dialah…


Sumbangannya tidak main-main, dalam mengembangkan bidang pertanian dan peradaban Mesir. Dengan dua anak yang mengalir dari rahimnya, yang dikenal dengan tambahan nama Putih dan Biru di belakang nama aslinya, dia mampu membuat penghuni bumi terpukau, tak hanya karena fungsinya tapi juga karena pesonanya. Terlebih karena sejarah yang terlalu istimewa berada di belakang riwayat hidupnya. Ya, dialah…
Continue reading

Indahnya (tempat) Ibadah


Cirebon. Pernah berkunjung ke sana? Atau mungkin nyasar di sana? Hehe. Beruntunglah.  Karena, di sana bisa kita temukan sejarah peradaban Islam yang memesona. Khususnya di alun-alun kota. Siapapun akan tertarik matanya untuk memandang sebuah bangunan yang indah. Tak hanya indah, tapi juga memiliki nilai-nilai religi yang mengingatkan kita pada ibadah. Ya, dialah Mesjid At-Taqwa.

Bangunan yang sejak dulu saya rindukan itu, pada November lalu telah saya sambangi. Meskipun kedatangan saya pada kala itu, niatnya adalah untuk memenuhi undangan pernikahan kawan baik saya di bilangan Cirebon. Saya sendiri tak pernah menyangka sebelumnya bisa sampai di sana, di mesjid yang sudah lama saya ingin kunjungi. Saya bahkan hampir lupa, kalau bangunan yang saya ingin kunjungi itu ada di kota tempat kawan baik saya menemukan tulang rusuknya. Dan awalnya, memang tak ada dalam agenda kepanitiaan untuk sengaja mampir di Mesjid tersebut. Tapi itulah keajaiban niat, kata Mang Ajat, seorang kawan saya juga. Niat yang baik akan dipertemukan dengan sesuatu yang baik pula. Tentunya atas izinNya. ^_^

Image

Masjid ini, mulai didirikan di kampung Kejaksan pada tahun 1918. Wah, tahun segitu saya masih main di lauh mahfudz sepertinya, hehe. Kata Wikipedia[1] , Masjid yang awalnya diberi nama Tajug Agung ini, berhasil selesai didirikan seadanya pada 1951, yang kemudian diresmikan pada 1963 dengan nama Masjid At-Taqwa, menimbang mashlahatnya agar tak tertukar dengan Masjid Agung Sang Cipta Rasa –yang jauh lebih dulu didirikan di sekitar Keraton Kasepuhan .

Apapun jika Allah mengizinkan, maka mudah saja. Termasuk pemugaran Masjid At-Taqwa tersebut, seperti dilansir di sebuah situs[2], yang menyatakan bahwa renovasi paling update Masjid ini, memerlukan dana sekitar 9,2 Milyar. Wow! Luar biasa. Semoga semakin banyak orang-orang yang berbuat baik. Aamiin.

Akses jalan menuju Masjid ini, sangatlah mudah. Tentu saja, karena ia berada di Pusat kota, tepatnya melalui Jalan R.A Kartini ataupun Jalan Siliwangi. Tepat di pinggiran ujung selatan Jalan Siliwangi, akan kita dapati gapura bergaya kolonial, yang melengkung membentangkan nama “Alun-alun Kejaksan”.  Dan memang ketika kita masuk melewati akses itu, kita akan memasuki lapangan rumput yang luas, itulah Alun-Alun Kejaksan. Dan pada saat saya ke sana, alun-alun tersebut nampak sedang dipersiapkan atau mungkin telah dipakai untuk acara kerohanian Islam. Dan kebetulan, sepertinya hari itu juga sedang ada kegiatan walimatul safaratul hajj, karena saat itu banyak rombongan yang berseragam putih di Gedung Islamic Centre, yang berada persis di samping Masjid At-Taqwa ini. Atau barangkali, ada yang melangsungkan resepsi pernikahan di sana. Entahlah, yang pasti gedung tersebut memang dipakai sebagai gedung serbaguna.

Setibanya di pelataran Masjid yang berlantai batu granit, kita disuguhkan dengan pekarangan indah yang tidak biasa. Karena di sana terdapat tumbuhan asli dari Timur Tengah, yakni Kurma. Ada beberapa yang saya lihat berjejer rapi di samping Masjid. Menambah keunikan tersendiri, selain mata kita dimanjakan dengan apiknya susunan taman tersebut.

Image

Image

Hal menakjubkan lain adalah, pintu depan Masjid At-Taqwa ini, dihiasi oleh lempengan berwarna emas yang bertuliskan kaligrafi dua kalimat syahadat, yang menurut sumber terpercaya, terbuat dari bahan glass reinforced cement (GRC) di atas batu granit asli dari Brazil. Wow! Jauh ya…

Dinding Masjid ini juga terbilang unik, karena jendela besar-besar  dibiarkan terbuka, dan dibentuk dengan aksen yang unik. Sungguh multifungsi. Pertama, untuk membiarkan udara segar keluar masuk dengan mudahnya, dan kedua untuk menambah kesyukuran kita, bahwasannya, arsitektur muslim kita sangatlah hebat.

Image

Image

Akulturasi budaya yang canggih. Itulah kesan yang saya tangkap. Karena, selain yang saya sebutkan di atas, Masjid ini seperti ingin mengatakan pada dunia bahwa kreatifitas umat muslim sangat mumpuni. Terbukti dengan perpaduan gaya Timur tengah, yang terlihat dari banyaknya menara-menara di sekitarnya, dengan budaya Jawa yang kentara, yakni atap Masjid yang berbentuk atap bertumpang-tumpang. Dengan begitu, Masjid ini, juga seolah mengingatkan tentang bolehnya menyerap budaya luar, tapi juga penting untuk mempertahankan budaya sendiri selagi sesuai dengan tuntunan Islam.

Yang semakin memukau adalah, ternyata ada satu menara yang paling istimewa. Yakni yang menjulang setinggi 65meter. Barang siapa yang bisa sampai pada ujung menara ini, maka dia pasti akan puas melihat seantero Kota Cirebon dengan sangat indahnya dari berbagai sudut. Sayangnya, saat itu saya tidak bisa naik ke menara tersebut. Karena  menurut Bapak Fikiri, salah satu anggota DKM yang ternyata pernah berkunjung ke Karawang, menyatakan bahwa menara tersebut dibuka setiap pukul tiga sore, sedangkan saya saat itu berada pada waktu Dzuhur. Dan lebih sayangnya, saya lupa menanyakan lebih lanjut soal itu. Karena, jamaah yang mampir hendak solat, penuh sesak.

2013-11-24 11.44.41

Image

Tapi, bagi yang tak sempat naik ke menara seperti saya, masih bisa melihat hasil tingginya menara tersebut. Karena di dinding Masjid, tepatnya di Koridor menuju ruang wudlu, dipasang foto Kota Cirebon dari dua sisi, barat dan timur, hasil jepretan di atas menara. Syukurlah, tak terlalu penasaran saya. Meskipun memang, akan lebih seru lagi merasakan kemahakuasaan Allah di atas ketinggian 65meter tersebut. Kapan-kapan coba deh, insyaAllah. ^_^

Image

Image

Image

Image

Saya beruntung, meski tak sempat naik ke menara tersebut, saya dipersilahkan untuk memasuki perpustakaan Masjid yang ada di luar sudut ruangan. Setelah melewati Bedug yang khas di pinggir ruangan, terus saja berjalan ke paling ujung, setelah ruang wudlu. Maka akan kita dapati Perpus sederhana dengan isi yang luar biasa. Menarik sekali.

Image

Image

Image

Image

Siapapun yang berkunjung tak hanya disediakan fasilitas untuk ibadah Mahdzah, tapi juga untuk mengembangkan pendidikan, ditambah dengan adanya Islamic Centre di sisi timur Masjid ini. Hal ini mengingatkan saya, pada Mesjid Nabawi, di mana Nabi memfungsikan Masjid tak hanya sekedar tempat solat, melainkan juga untuk sarana pendidikan dan pusat kegiatan sosial keagamaan.

Image

Image

Luasnya bangunan ini, mampu menampung jamaah sebanyak 5500 orang. Bukan jumlah yang sedikit. Tak hanya untuk warga Cirebon, tapi juga untuk musafir seperti saya dan rombongan yang ingin mampir melepas lelah, atau yang lebih penting, untuk menunaikan kebutuhan solat. Oh iya, tak usah cemas. Karena, di depan halaman Masjid, berjejer rapi para pedagang makanan berbagai menu yang pengertian dengan kondisi perut kita. Juga pengertian dengan kantong kita, hehe, sehingga harganya relatif terjangkau. Saya dan suami, kala itu memilih menu Nasi Lengko, karena tak berhasil menemukan Nasi Jamblang Khas Cirebon.

Image

Yoweslah, yang penting makanannya halal dan bikin kenyang, sehingga perjalanan kembali lancar tak terganggu sirine perut keroncongan, hehehe. Semoga, someday, saya dan suami berkesempatan berkunjung ke sana, menjelajahi Wisata Religi lainnya, seperti Masjid Agung Cipta Rasa dan lain sebagainya. Dan yang lebih penting adalah, menambah kesyukuran kita pada yang Maha Menciptakan, yakni Allah ‘azza wa jalla. Semoga.

Image

Image

Karena zaman dulu, apa-apa serba terbatas. Maka pertanyaan selanjutnya yaitu, ketika Masjid-masjid sudah banyak yang indah, maukah kita juga mengindahkan akhlak kita? (PR bersama 🙂 )


[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Masjid_At-Taqwa_Cirebon

[2]  http://wisataindonesia.biz/masjid-at-taqwa-ikon-baru-kota-cirebon/#.UsUfb_vC7Mw

[3] sumber foto : koleksi pribadi

Oleh-oleh Milad FKDK-14


“Apa kabar hari ini?” Sebuah suara lantang mengudara di seantero Aula Unsika.
“Alhamdulillah, luar biasa, Allahu akbar!” jawaban khas sebagian besar penghuni aula itu, menggaungkan gedung yang baru saja selesai di renovasi beberapa waktu lalu. Sudah banyak orang rupanya di dalam gedung. Dari yang muda sampai yang muda.

Mengapa saya katakan ‘Dari yang muda sampai yang muda’? Karena memang tak ada yang bisa disebut tua di gedung itu. Hal itu karena, semangat mereka untuk berbuat baik, nampak jauh lebih muda dari usianya. Mereka menduduki kursi merah marun yang telah tersedia. Mereka hadir, untuk memenuhi undangan.

Undangan milad FKDK UNSIKA.

Yup! Mengawali tahun 2013 ini, salah satu organisasi kampus UNSIKA, yakni FKDK (Forum Komunikasi Dakwah Kampus), mengadakan peringatan, lebih tepatnya syukuran, atas usianya yang sudah sampai di tahun ke Empat belasnya.

Usia yang semoga menjadikan FKDK lebih dewasa dan lebih bermakna, bagi Unsika khususnya, dan bagi masyarakat umumnya.

Maka, memaknai milad tersebut, FKDK mengadakan kegiatan sosial yang bertema, ‘Satu Hati, Satu Cinta, dari FKDK untuk semua’.

Kiranya tak berlebihan tema itu diusungkan. Karena, kegiatan sosial memang mutlak membutuhkan keterlibatan hati, dan cinta.

Tanpa adanya dorongan dari hati, kegiatan sosial, atau kegiatan apapun, tak akan terlaksana. Sekalipun terlaksana, bila tanpa hati, perbuatan itu bagai bubur khusus orang sakit, anyep.

Teringat Master Cinta teladan kita, Nabi pamungkas diantara semua Nabi, yakni Muhammad saw, dengan izin Allah, adalah orang yang sempurma mengajarkan bagaimana arti cinta. Cinta pada sesama. Sehingga penyebaran Islam pun meluas, menembus benua dan setiap penjuru dunia, sampai sekarang.

Jadi, tanpa kehadiran cinta, mana mungkin dakwah bisa diterima?

Untuk itulah, bentuk kegiatan yang dilaksanakanpun, diharapkan mampu menyentuh hati dan cinta antar sesama, pada porsi yang sewajarnya tentu saja.

Kegiatan yang dimaksud adalah, santunan anak yatim, pengobatan gratis untuk warga sekitar kampus, donor darah, dan talkshow.

Dalam kegiatan ini, FKDK didukung PKPU, PMI, dan Usman (Usaha Mandiri).
Seandainya, mereka tak disentuh Yang Maha Memiliki hati dan cinta, dengan Kalam berikut ini :

“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin…” (Al-Baqarah: 177)

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin.” (An Nisa`: 36)

mungkin mereka tak akan sesemangat itu melakukan kegiatan tersebut.

Sentuhan KalamNya itu, semakin ditegaskan dalam kesimpulan talkshow pada acara tersebut, bahwa ketika kita memberikan atau melakukan kebaikan, maka penting untuk memperhatikan tiga hal berikut :

Pertama, niatkan karena Allah. Bukan karena makhluk, atau apapun selainNya.
Kedua, lakukan bersama Allah, artinya prosessnya harus Ahsan, baik. Ketiga, serahkan pada Allah, artinya kebaikan itu harus diupayakan untuk mendapatkan ridho Allah.
Bila semua hal itu dapat dilaksanakan, maka, insyaAllah kebaikan yang kita lakukan, tidak akan sia-sia.

Demikian, oleh-oleh dari Milad FKDK yang dapat saya sampaikan. Semoga bermanfaat.

Dan semoga FKDK semakin diberkahi Allah swt. Aamiin.

^_____________^

Image

Karawang, 5 Januari 2013,

22 Safar 1434 H.

Sabtu.
Djayanti Nakhla Andonesi

Situs Batujaya (Candi Jiwa)


Di kawasan situs Batujaya terdapat peninggalan dari masa klasik. Kawasan Batujaya mencakup wilayah yang cukup luas yaitu sekitar 5 km2, terbentang pada koordinat 06°02’52,10” – 06°03’34,17” Lintang Selatan dan 107°09’01,00” – 107°09’05,91” Bujur Timur.
Secara administratif kawasan ini termasuk di wilayah Desa Segaran Kecamatan Batujaya dan desa Telagajaya Kecamatan Pakisjaya.
Situs berada tidak jauh dari dari garis pantai utara Laut Jawa, pada areal persawahan dan sebagian pada areal pemukiman penduduk.
Di sebelah selatan situs terdapat aliran Sungai Citarum. Sungai dan persawahan tidak pernah mengalami masa kering. Sepanjang tahun basah oleh genangan dan air resapan.
Penelitian di kawasan situs Batujaya dimulai tahun 1975-1976 berupa penelitian penjajagan. Selanjutnya pada 1984 dilakukan penelitian (ekskavasi) oleh Jurusan Arkeologi, Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FSUI). Sejak itu kemudian dilakukan peneitian lebih intensif yang dilakukan oleh berbagai lembaga antara lain FS UI, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas), Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah (Ditlinbinjarah(, Universitas Tarumanagara (Untar), Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL), dan Balai Arkeologi (Balar) Bandung.
Tinggalan arkeologis di Batujaya hingga tahun 2000 telah ditemukan 24 situs tersebar di Desa Segaran dan Telagajaya. Di Desa Segaran ditemukan 13 situs dan di Telagajaya 11 situs.
Dari ke-24 situs ini terdapat beberapa situs yang telah diekskavasi dan menampakkan sisa bangunan candi. Gundukan tanah yang di dalamnya berisi reruntuhan bata-bata kuno masyarakat menyebutnya dengan istilah ‘unur’. Situs tersebut antara lain Segaran I (SEG I atau Unur Jiwa), Segaran III (SEG III atau Unur Damar), Segaran IV (SEG IV), Segaran V (SEG V atau Unur Blandongan), Segaran IX (SEG IX atau Situs Kolam), Telagajaya I (TLJ I atau Unur Serut), Telagajaya V (TLJ V atau Unur Asem), dan Telagajaya VIII (TLJ VIII).
Unur Jiwa telah berhasil diekskavasi semuanya dan pemugaran dimulai sejak tahun 1997 hingga 2004. Situs ini berada pada koordinat 06° 03′ 427″ Lintang Selatan dan 107° 09′ 287″ Bujur Timur. Bangunan candi yang ada tinggal bagian kaki dan sedikit bagian atas sisa tubuh candi.
Bangunan candi berdenah bujursangkar berukuran 19×19 m. Tinggi bagian yang tersisa 4,7 m. Orientasi bangunan ke arah tenggara – baratlaut. Karena tidak ditemukan adanya tangga atau pintu masuk maka arah hadapnya tidak diketahui. Di bagian atas bangunan terdapat susunan bata yang membentuk bujur sangkar dan susunan bata yang melingkar konsentris membentuk menyerupai kelopak bunga teratai.
Bangunan di Unur Jiwa ini sekarang sudah selesai dipugar. Pada papan nama yang terdapat di lokasi itu disebut dengan nama Candi Jiwa. Dengan selesainya pemugaran tampak bahwa profil kaki terdiri pelipit rata (patta), pelipit penyangga (uttara), dan pelipit setengah lingkaran (kumuda). Sambungan bata pada bagian kaki menunjukkan penggunaan lapisan perekat tipis berwarna putih. Lapisan ini biasa disebut dengan stuco.

Pada permukaan bata juga ada yang masih menyisakan lapisan stuco. Berdasarkan jejak seperti itu diperkirakan bahwa dinding bangunan dahulu ditutup dengan lapisan stuco.

Di bagian atas terdapat struktur bata melingkar berdiameter sekitar 6 m. Bagian ini mungkin merupakan dasar stupa atau lapik suatu teras. Bagian yang menakjubkan juga terdapat di permukaan atas, yaitu pada sisi-sisinya dibuat bergelombang sehingga memunculkan kesan kelopak bunga teratai yang sedang mekar.

Di Unur Damar (SEG III) terdapat sisa bangunan berupa bagian kaki candi berdenah empat persegi panjang berukuran 20 X 15 m. Pada sisi barat laut terdapat bagian tangga yang kondisinya sudah melesak. Di situs SEG IV juga terdapat sisa bangunan berdenah bujur sangkar berukuran 6,5 X 6,5 m dengan tinggi yang tersisa 1 m. Di bagian sisi tenggara terdapat struktur yang menjorok ke luar seperti sisa bagian tangga.

Unur Blandongan (SEG VI) merupakan unur yang luasnya relatif sama dengan Unur Jiwa. Situs ini berada pada koordinat 06° 03′ 351″ Lintang Selatan dan 107°  09′ 203″ Bujur Timur. Di Unur Blandongan terdapat bangunan candi berdenah bujur sangkar dengan ukuran 25 X 25 m.

Pada keempat sisinya terdapat anak tangga. Bagian bawah bangunan terdapat bagian selasar (lorong) yang memisahkan dinding selasar dengan badan bangunan yang berlapik. Lapik bangunan berukuran 12 X 12 m. Pada bagian lapik ini terdapat badan bangunan berukuran 10 X 10 m. Ekskavasi di situs ini menemukan sejumlah tablet yang bergambar relief Buddha. Sebagian di antaranya ada yang bertulisan dengan huruf Pallawa. Selain itu juga ditemukan beberapa batu bergores. Unur Blandongan sekarang dalam tahap renovasi.

Bangunan yang tampak di situs SEG IX berupa bangunan kolam berdenah empat persegi panjang dengan ukuran 7,35 X 10,55 m. Ketebalan dinding rata-rata 1,7 m m kecuali dinding sisi timur laut dengan ketebalan lebih dari 4 m. Kedalaman kolam belum diketahui.

Unur Serut (TLJ I) berada pada koordinat 06° 03′ 359″ Lintang Selatan dan 107° 09′ 052″ Bujur Timur. Di situs ini terdapat empat bangunan. Bangunan TLJ IA belum seluruhnya terungkap. Bangunan ini berupa kaki candi dengan ukuran panjang yang sudah digali 22 m dan lebar 10 m. Bangunan TLJ IB sudah sangat rusak. Dari sisa yang ada diperkirakan berdenah bujur sangkar dengan panjang sisi-sisinya 8,5 m. Bangunan TLJ IC berdenah empat persegi dengan panjang sisi 6 m. Pada sisi timur laut terdapat tangga.

Bangunan ini dilepa dan dihiasi ornamen yang terbuat dari bahan semen kapur (stucco). beberapa hiasan berupa kepala arca manusia dan binatang dari bahan stucco juga ditemukan dalam runtuhan di bagian luar kaki bangunan candi. Halaman di sekitar bangunan kemungkinan pernah mengalami pengurugan. Permukaan halaman kemudian ditutup dengan lapisan plester dari bahan stucco. Bangunan TLJ ID merupakan kolam. Struktur yang masih tersisa berupa tembok memanjang yang menyiku di dasar kolam.

Bangunan di situs TLJ V (Unur Asem) berdenah bujur sangkar berukuran 10 X 10 m. Candi ini dilengkapi dua tangga berada di sisi tenggara dan timur laut. Tangga yang berada di sisi tenggara dibangun lebih kemudian dari tangga yang berada di sisi timur laut. Di bagian atas sisa bangunan nampak susunan bata yang berdenah lingkaran konsentris.

Ekskavasi di situs TLJ VIII telah menampakkan sisa bagian kaki candi berdenah empat persegi panjang dengan ukuran panjang 6 m dan lebar 4 m. Pada sisi timur laut dilengkapi tangga. Di bagian tengah bangunan ini terdapat sumuran dengan ukuran 1,80 X 1,75 m.

Berdasarkan bentuk bangunan dan beberapa tinggalan arkeologik yang ada dapat dipastikan bahwa bangunan candi di kawasan Batujaya berlatarkan pada Buddha. Kawasan situs Batujaya diperkirakan berkaitan dengan Kerajaan Tarumanegara. Analisis terhadap C14 menunjukkan umur tertua dari abad ke-2 dan termuda dari abad ke-12. Keramik asing yang ditemukan menunjukkan keramik yang diproduksi dari abad ke-9 – 14 M.

Beberapa runtuhan bangunan candi tersebut sekarang dalam pemugaran. Candi Jiwa merupakan yang pertama kali selesai dipugar. Pada saat ini yang dalam proses pemugaran adalah Candi Blandongan. Beberapa candi yang lain masih dalam tahap penelitian.

Karena masing-masing candi terpisahkan sawah, maka dibangunlah jalan setapak dengan lebar 1 m yang menghubungkan antara Candi Jiwa dan Blandongan. Untuk ke candi yang lain bisa melewati jalan pematang sawah.Image