Cirebon. Pernah berkunjung ke sana? Atau mungkin nyasar di sana? Hehe. Beruntunglah. Karena, di sana bisa kita temukan sejarah peradaban Islam yang memesona. Khususnya di alun-alun kota. Siapapun akan tertarik matanya untuk memandang sebuah bangunan yang indah. Tak hanya indah, tapi juga memiliki nilai-nilai religi yang mengingatkan kita pada ibadah. Ya, dialah Mesjid At-Taqwa.
Bangunan yang sejak dulu saya rindukan itu, pada November lalu telah saya sambangi. Meskipun kedatangan saya pada kala itu, niatnya adalah untuk memenuhi undangan pernikahan kawan baik saya di bilangan Cirebon. Saya sendiri tak pernah menyangka sebelumnya bisa sampai di sana, di mesjid yang sudah lama saya ingin kunjungi. Saya bahkan hampir lupa, kalau bangunan yang saya ingin kunjungi itu ada di kota tempat kawan baik saya menemukan tulang rusuknya. Dan awalnya, memang tak ada dalam agenda kepanitiaan untuk sengaja mampir di Mesjid tersebut. Tapi itulah keajaiban niat, kata Mang Ajat, seorang kawan saya juga. Niat yang baik akan dipertemukan dengan sesuatu yang baik pula. Tentunya atas izinNya. ^_^
Masjid ini, mulai didirikan di kampung Kejaksan pada tahun 1918. Wah, tahun segitu saya masih main di lauh mahfudz sepertinya, hehe. Kata Wikipedia[1] , Masjid yang awalnya diberi nama Tajug Agung ini, berhasil selesai didirikan seadanya pada 1951, yang kemudian diresmikan pada 1963 dengan nama Masjid At-Taqwa, menimbang mashlahatnya agar tak tertukar dengan Masjid Agung Sang Cipta Rasa –yang jauh lebih dulu didirikan di sekitar Keraton Kasepuhan .
Apapun jika Allah mengizinkan, maka mudah saja. Termasuk pemugaran Masjid At-Taqwa tersebut, seperti dilansir di sebuah situs[2], yang menyatakan bahwa renovasi paling update Masjid ini, memerlukan dana sekitar 9,2 Milyar. Wow! Luar biasa. Semoga semakin banyak orang-orang yang berbuat baik. Aamiin.
Akses jalan menuju Masjid ini, sangatlah mudah. Tentu saja, karena ia berada di Pusat kota, tepatnya melalui Jalan R.A Kartini ataupun Jalan Siliwangi. Tepat di pinggiran ujung selatan Jalan Siliwangi, akan kita dapati gapura bergaya kolonial, yang melengkung membentangkan nama “Alun-alun Kejaksan”. Dan memang ketika kita masuk melewati akses itu, kita akan memasuki lapangan rumput yang luas, itulah Alun-Alun Kejaksan. Dan pada saat saya ke sana, alun-alun tersebut nampak sedang dipersiapkan atau mungkin telah dipakai untuk acara kerohanian Islam. Dan kebetulan, sepertinya hari itu juga sedang ada kegiatan walimatul safaratul hajj, karena saat itu banyak rombongan yang berseragam putih di Gedung Islamic Centre, yang berada persis di samping Masjid At-Taqwa ini. Atau barangkali, ada yang melangsungkan resepsi pernikahan di sana. Entahlah, yang pasti gedung tersebut memang dipakai sebagai gedung serbaguna.
Setibanya di pelataran Masjid yang berlantai batu granit, kita disuguhkan dengan pekarangan indah yang tidak biasa. Karena di sana terdapat tumbuhan asli dari Timur Tengah, yakni Kurma. Ada beberapa yang saya lihat berjejer rapi di samping Masjid. Menambah keunikan tersendiri, selain mata kita dimanjakan dengan apiknya susunan taman tersebut.
Hal menakjubkan lain adalah, pintu depan Masjid At-Taqwa ini, dihiasi oleh lempengan berwarna emas yang bertuliskan kaligrafi dua kalimat syahadat, yang menurut sumber terpercaya, terbuat dari bahan glass reinforced cement (GRC) di atas batu granit asli dari Brazil. Wow! Jauh ya…
Dinding Masjid ini juga terbilang unik, karena jendela besar-besar dibiarkan terbuka, dan dibentuk dengan aksen yang unik. Sungguh multifungsi. Pertama, untuk membiarkan udara segar keluar masuk dengan mudahnya, dan kedua untuk menambah kesyukuran kita, bahwasannya, arsitektur muslim kita sangatlah hebat.
Akulturasi budaya yang canggih. Itulah kesan yang saya tangkap. Karena, selain yang saya sebutkan di atas, Masjid ini seperti ingin mengatakan pada dunia bahwa kreatifitas umat muslim sangat mumpuni. Terbukti dengan perpaduan gaya Timur tengah, yang terlihat dari banyaknya menara-menara di sekitarnya, dengan budaya Jawa yang kentara, yakni atap Masjid yang berbentuk atap bertumpang-tumpang. Dengan begitu, Masjid ini, juga seolah mengingatkan tentang bolehnya menyerap budaya luar, tapi juga penting untuk mempertahankan budaya sendiri selagi sesuai dengan tuntunan Islam.
Yang semakin memukau adalah, ternyata ada satu menara yang paling istimewa. Yakni yang menjulang setinggi 65meter. Barang siapa yang bisa sampai pada ujung menara ini, maka dia pasti akan puas melihat seantero Kota Cirebon dengan sangat indahnya dari berbagai sudut. Sayangnya, saat itu saya tidak bisa naik ke menara tersebut. Karena menurut Bapak Fikiri, salah satu anggota DKM yang ternyata pernah berkunjung ke Karawang, menyatakan bahwa menara tersebut dibuka setiap pukul tiga sore, sedangkan saya saat itu berada pada waktu Dzuhur. Dan lebih sayangnya, saya lupa menanyakan lebih lanjut soal itu. Karena, jamaah yang mampir hendak solat, penuh sesak.
Tapi, bagi yang tak sempat naik ke menara seperti saya, masih bisa melihat hasil tingginya menara tersebut. Karena di dinding Masjid, tepatnya di Koridor menuju ruang wudlu, dipasang foto Kota Cirebon dari dua sisi, barat dan timur, hasil jepretan di atas menara. Syukurlah, tak terlalu penasaran saya. Meskipun memang, akan lebih seru lagi merasakan kemahakuasaan Allah di atas ketinggian 65meter tersebut. Kapan-kapan coba deh, insyaAllah. ^_^
Saya beruntung, meski tak sempat naik ke menara tersebut, saya dipersilahkan untuk memasuki perpustakaan Masjid yang ada di luar sudut ruangan. Setelah melewati Bedug yang khas di pinggir ruangan, terus saja berjalan ke paling ujung, setelah ruang wudlu. Maka akan kita dapati Perpus sederhana dengan isi yang luar biasa. Menarik sekali.
Siapapun yang berkunjung tak hanya disediakan fasilitas untuk ibadah Mahdzah, tapi juga untuk mengembangkan pendidikan, ditambah dengan adanya Islamic Centre di sisi timur Masjid ini. Hal ini mengingatkan saya, pada Mesjid Nabawi, di mana Nabi memfungsikan Masjid tak hanya sekedar tempat solat, melainkan juga untuk sarana pendidikan dan pusat kegiatan sosial keagamaan.
Luasnya bangunan ini, mampu menampung jamaah sebanyak 5500 orang. Bukan jumlah yang sedikit. Tak hanya untuk warga Cirebon, tapi juga untuk musafir seperti saya dan rombongan yang ingin mampir melepas lelah, atau yang lebih penting, untuk menunaikan kebutuhan solat. Oh iya, tak usah cemas. Karena, di depan halaman Masjid, berjejer rapi para pedagang makanan berbagai menu yang pengertian dengan kondisi perut kita. Juga pengertian dengan kantong kita, hehe, sehingga harganya relatif terjangkau. Saya dan suami, kala itu memilih menu Nasi Lengko, karena tak berhasil menemukan Nasi Jamblang Khas Cirebon.
Yoweslah, yang penting makanannya halal dan bikin kenyang, sehingga perjalanan kembali lancar tak terganggu sirine perut keroncongan, hehehe. Semoga, someday, saya dan suami berkesempatan berkunjung ke sana, menjelajahi Wisata Religi lainnya, seperti Masjid Agung Cipta Rasa dan lain sebagainya. Dan yang lebih penting adalah, menambah kesyukuran kita pada yang Maha Menciptakan, yakni Allah ‘azza wa jalla. Semoga.
Karena zaman dulu, apa-apa serba terbatas. Maka pertanyaan selanjutnya yaitu, ketika Masjid-masjid sudah banyak yang indah, maukah kita juga mengindahkan akhlak kita? (PR bersama 🙂 )